“Dana Desa Tungoi Satu Janggal, Anggaran Stunting Rp65 Juta vs Honor Kader Rp61 Juta”

Bolaang Mongondow – Program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk pencegahan stunting di Desa Tungoi Satu, Kecamatan Lolayan, Kabupaten Bolaang Mongondow, terindikasi sarat penyimpangan. Alih-alih memprioritaskan anak-anak penerima manfaat, alokasi anggaran justru lebih banyak terserap ke honor kader posyandu.

Perlu di ketahui pada tahun 2023 -2024 masing masing dengan jumlah Rp 126,500.000– 140.000.000 jt lebih itu semua anggaran untuk program pemberian makanan tambahan PMT untuk menekan dan mencegah angka stunting di kabupaten Bolaang Mongondow dan terutama di desa Tungoi satu pemerintah desa Tungoi satu sudah menganggarkan anggaran sebesar

Tahun 2023
Penyelenggaraan Posyandu (Makanan Tambahan, Kelas Ibu Hamil, Kelas Lansia, Insentif Kader Posyandu) Rp 61.200.000

Penyelenggaraan Posyandu (Makanan Tambahan, Kelas Ibu Hamil, Kelas Lansia, Insentif Kader Posyandu)
Rp 65.326.000

Tahun 2024
Penyelenggaraan Posyandu (Makanan Tambahan, Kelas Ibu Hamil, Kelas Lansia, Insentif Kader Posyandu) Rp 14.516.000

Penyelenggaraan Posyandu (Makanan Tambahan, Kelas Ibu Hamil, Kelas Lansia, Insentif Kader Posyandu) Rp 65.326.000

Penyelenggaraan Posyandu (Makanan Tambahan, Kelas Ibu Hamil, Kelas Lansia, Insentif Kader Posyandu) Rp 61.200.000

Hasil penelusuran media menemukan sejumlah warga mengaku kecewa karena susu untuk anak mereka tidak disalurkan sebagaimana mestinya. Bahkan ada warga yang sempat melihat susu sudah diletakkan di meja posyandu untuk didokumentasikan, namun kemudian diambil kembali oleh kader dengan alasan hanya diperuntukkan bagi anak penderita gizi buruk.

“Kalau anak saya butuh susu kenapa tidak bisa dikasih? Itu susu kan memang bantuan untuk anak-anak,” keluh salah satu warga.

Kades Akui Honor Kader Nyaris Setara Anggaran Stunting

Saat dikonfirmasi, Sangadi Tungoi Satu, Sutrisno Ungko, mengakui bahwa anggaran PMT desa tahun berjalan mencapai Rp65 juta. Sementara untuk honorarium kader posyandu dan KPM mencapai Rp61 juta, dengan jumlah kader yang mencapai 17 orang, masing-masing menerima Rp300 ribu per bulan.

“Insentif kader dan makanan tambahan. Kader saya ada 17 orang x 12 bulan. Selebihnya susu dan makanan. Susu memang mahal, jadi besar DP anggarannya. Pemerintah desa hanya menyiapkan anggaran, selebihnya kegiatan bulanan disalurkan para kader,” ujar Sutrisno.

Pernyataan ini memicu tanda tanya besar. Bagaimana mungkin honor kader hampir menyamai anggaran utama program stunting yang mestinya diperuntukkan bagi pemberian makanan tambahan kepada balita?

Kader Posyandu Diduga Melebihi Batas Regulasi

Lebih jauh, regulasi menegaskan jumlah kader posyandu di tingkat desa minimal 3 orang dan maksimal 5 orang. Namun di Desa Tungoi Satu jumlahnya membengkak hingga 17 orang.

Saat ditanya mengenai dasar hukum penambahan jumlah kader, Sutrisno berdalih bahwa seluruh mekanisme sudah melalui rembug stunting dan dibenarkan oleh Inspektorat serta BPKP.

“Semua sudah selesai dengan aturan dan itu sudah dibenarkan oleh pihak Inspektorat dan BPKP. Sampai saat ini tidak ada masalah. Kalau pun ada kegiatan yang salah, maka itu kesalahan saya, dan pasti saya akan TGR (Tuntutan Ganti Rugi),” katanya menegaskan.

TGR Tidak Menghapus Unsur Pidana

Namun pernyataan itu justru semakin menuai kritik. Mekanisme TGR tidak menghapus unsur tindak pidana apabila ditemukan adanya penyalahgunaan anggaran dengan mens rea atau niat jahat. Artinya, sekalipun ada pengembalian kerugian negara, proses hukum tetap wajib dijalankan.

“Jangan sampai program stunting yang harusnya menyelamatkan anak-anak malah dipakai sebagai kedok untuk memperbesar honor kader. Kalau sudah seperti ini, ini indikasi ada dugaan tindak pidana korupsi, bukan sekadar kesalahan administrasi,” tegas salah satu tokoh masyarakat.

Masyarakat Minta Aparat Bertindak

Atas kejanggalan ini, masyarakat Desa Tungoi Satu mendesak aparat penegak hukum, baik kejaksaan maupun kepolisian, segera turun tangan melakukan penyelidikan mendalam terhadap pengelolaan dana desa.

“Kalau honor kader saja Rp61 juta dan anggaran PMT Rp65 juta, itu tidak masuk akal. Uang desa bukan untuk bancakan, tapi untuk kesehatan anak-anak. Kami minta Kejaksaan dan Kepolisian segera usut,” tegas warga lainnya.

Kasus ini memperlihatkan adanya dugaan kuat penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan dana desa. Pertanyaan yang kini menggantung di publik: benarkah pencegahan stunting hanya dijadikan alasan untuk memperbesar anggaran honor kader?

 

(Ronal P)*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *