Minahasa Tenggara — Miris dan memilukan! Kawasan Kebun Raya Minahasa Tenggara, yang seharusnya menjadi cagar alam, kawasan konservasi, dan destinasi wisata edukasi, kini berubah menjadi lahan tambang yang porak-poranda. Aktivitas penambangan emas ilegal diduga kuat dikendalikan oleh ER alias EXEL, seorang bos tambang yang namanya sudah lama disebut-sebut dalam berbagai kasus perusakan lingkungan di wilayah tersebut.
Masyarakat setempat menilai EXEL kebal hukum, karena hingga kini aktivitas tambang emas liar di kawasan Kebun Raya masih terus berjalan tanpa hambatan. Dugaan makin menguat karena muncul informasi adanya permainan kotor dan kongkalikong antara EXEL dengan oknum pejabat daerah, yakni Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) dan Kepala UPTD Kebun Raya.
Beredar kabar adanya suap dan setoran rutin agar aktivitas tambang ilegal ini tetap aman dari pantauan hukum. Akibatnya, kawasan yang seharusnya dijaga ketat justru dijarah oleh oknum yang rakus demi keuntungan pribadi.
Padahal, aktivitas tersebut jelas melanggar hukum, di antaranya:
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, serta
Pasal 406 dan 187 KUHP, yang mengatur tentang tindak pidana perusakan fasilitas negara dan lingkungan hidup.
Kerusakan yang ditimbulkan sangat besar. Lahan hijau yang dulu menjadi tempat penelitian dan wisata edukasi kini berubah menjadi kawasan gundul, berlubang-lubang, dan tercemar oleh limbah tambang. Bahkan, beberapa titik hutan konservasi kini rawan longsor dan kehilangan habitat satwa endemik.
“Kami sudah tidak tahan lagi. Setiap hari terdengar suara alat berat dan aktivitas penambangan di dalam area Kebun Raya. Ini jelas pelanggaran berat. Kami minta EXEL dan semua yang terlibat dihukum seberat-beratnya,” tegas seorang tokoh masyarakat Minahasa Tenggara.
Masyarakat menuding Aparat Penegak Hukum (APH) di tingkat daerah, khususnya Polres Minahasa Tenggara, terkesan tutup mata terhadap kejahatan lingkungan ini. Mereka mendesak Polda Sulawesi Utara dan Mabes Polri untuk turun langsung ke lapangan, menyelidiki aliran dana, serta menindak tegas para pelaku dan pejabat yang bermain di balik layar.
Selain itu, masyarakat juga menyoroti lemahnya pengawasan dari instansi terkait. Kepala BLH dan Kepala UPTD Kebun Raya disebut-sebut tidak menjalankan fungsi pengawasan dan perlindungan lingkungan, bahkan justru diduga ikut menikmati hasil tambang ilegal.
Perusakan kawasan Kebun Raya ini menjadi tamparan keras bagi pemerintah daerah dan penegak hukum. Bila dibiarkan, kebanggaan daerah berupa cagar alam dan ruang konservasi itu akan hilang, tergantikan oleh lubang-lubang tambang, pencemaran, dan kehancuran ekosistem yang tidak bisa diperbaiki.
Kini masyarakat Minahasa Tenggara bersuara satu:
“Tangkap dan hukum EXEL! Bersihkan pejabat yang bermain di belakang tambang ilegal! Tegakkan hukum tanpa pandang bulu!”
Hanya dengan langkah tegas dari Mabes Polri dan Polda Sulut, hukum dan keadilan bisa kembali berdiri tegak di atas bumi Minahasa Tenggara yang kini tengah terluka oleh kerakusan manusia.**(afat)














